Senyum Sang Bintang

| | 0 komentar



Senja sebentar lagi bertandang. Burung-burung sudah bersiap pulang ke sarang. Tampak di tengah lapangan rumput, segerombolan anak-anak masih asik bermain sepak bola. Saling berkejaran menggiring dan menendang bola. Sesekali terdengar gelak tawa bahkan mengumpat dari mereka, ketika bola gagal masuk gawang. Tak jarang anak yang tak berhasil memasukkan bola ke sarang lawan akan menjadi bulan-bulanan teman sepermainannya. Kemudian berlari saling mengejar dan tawa pun berderai memenuhi ceria seluruh lapangan.  

Acchhh... masa kecil memang sangat menyenangkan,’ batinku. 

Belum genap enam bulan aku menetap sementara di daerah ini. Sebuah desa yang berada di kedalaman pulau Kalimantan Barat. Tempat yang terpencil dan jauh dari keramaian kota. Jarak dari desa ke kota dapat ditempuh selama hampir dua jam perjalanan. Itu pun hanya dapat ditempuh dengan jasa ojek jika tak ingin berjalan sampai tempat pangkalan mobil angkutan penumpang yang lumayan jauh. Suasana alam yang masih asri jauh dari polusi dengan hutan yang masih dibiarkan rimbun di sekitarnya. Hanya beberapa bagian saja yang sudah ditanami pohon karet. Mayoritas penduduknya adalah pendatang dari daerah-daerah di Indonesia. Sesuai program pada masa pemerintahan Alm. Soeharto, mantan Presiden Indonesia yang mensejahterakan warga dengan sistem transmigrasi untuk warga kurang mampu pada waktu itu. Setiap tempat pemukiman memiliki nama daerah masing-masing. Seperti Indramayu menandakan bahwa yang bermukim di tempat tersebut adalah penduduk transmigrasi dari daerah Indramayu, begitu juga dengan Wonosobo, Semarang, Kendal, Malang, dan masih banyak lagi nama daerah yang lain. Ini juga dapat dilihat dari bahasa yang digunakan sehari-hari. 

Berawal dari rasa sosial, akhirnya aku menyanggupi dikirim ke daerah ini untuk mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah yang diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu. Melihat antusias mereka ketika sedang belajar meski hanya duduk di atas karpet tanpa bangku, sungguh suatu keharuan. Betapa mereka pun sesungguhnya memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Namun perekonomian tak memihak pada mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih layak.   

*** 

Sebuah bola tiba-tiba menggelinding tepat di depanku, spontan aku meraihnya. Lalu aku tersenyum  dan memberi aba-aba bahwa bola akan kulempar pada mereka. Mereka saling berebut ambil posisi. 

“Awas, siap yaa...!” teriakku memberi aba-aba. 

“Siappp...!!!” teriak mereka serempak. 

“Lempar ke sini, Bu... Lempar ke sini, Bu...” tingkah mereka membuat aku tersenyum. 

Segera kulempar bola serong ke kiri, di mana tak ada anak sama sekali. Mereka segera berebut saling mendahului untuk mendapatkan bola tersebut. Aku hanya dapat tertawa melihat tingkah lucu mereka.  
Sejurus mataku lalu tertuju pada seorang anak yang sedang menggendong anak lain di seberang lapangan. Dengan setengah membungkuk mungkin beban terlalu berat di punggungnya, ia berjalan ke arah tempat duduk di pinggir lapangan. Aku tertarik untuk mengikutinya. Bergegas aku berjalan ke arahnya. 

“Bu Riri,” belum sempat aku menegurnya, ia sudah menyapaku terlebih dahulu. 

“Kamu Asoka kan?” tanyaku kemudian. 

“Iya, Bu. Ibu kok ada di sini?” ia menjawab sambil mendudukkan teman yang tadi digendongnya di bangku panjang yang ada di pinggir lapangan. 

“Ibu kebetulan lewat di sini terus melihat anak-anak main sepak bola. Kamu kok nggak ikut main bola, terus itu siapa?” lanjutku ingin tahu. 

“Ini adik saya, Bu. Setiap sore saya mengajaknya main ke sini, karena dia nggak bisa jalan jadi saya gendong kasihan kalau di rumah terus,” katanya sambil membenahi baju adiknya. 

Namanya Nasokha, tapi temannya lebih sering memanggilnya Asoka. Anak kelas 4 Madrasah Islamiyah di tempatku mengajar. Dengan postur tubuh yang sedikit pendek dan agak gemuk. Berbeda dengan adiknya yang bertubuh kurus bahkan nyaris tinggal kulit dan tulang. Asoka adalah anak yang berprestasi, meski tak selalu mendapatkan peringkat satu namun ia selalu di urutan lima besar. Termasuk juga untuk pelajaran agama, ia paling cepat tanggap dan lebih cepat menghafal daripada teman yang lain. Aku tahu selama mengajar di sekolah itu, banyak para guru yang membanggakannya. 

“Orang tuamu ke mana?” aku memandang prihatin pada adiknya yang duduk pun harus bersandar ke pundak Asoka.  

“Ibu sama Bapak kerja di kota, kami tinggal di rumah sama nenek,” sambungnya. 

“Jadi selama ini kamu cuma tinggal sama nenek? Terus nenek kamu sekarang di mana?” aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut. 

“Nenek sedang jualan pisang goreng keliling, jadi saya yang gantian menjaga adik,” tangannya mengusap mulut adiknya dengan sapu tangan yang sedari tadi mengeluarkan air liur. 

Subhanallah, aku benar-benar tak mampu berkata apa-apa, hanya mampu memandang kedua kakak beradik itu dengan perasaan trenyuh. Betapa hidup tak lepas dari cobaan yang mendera. Tak terkecuali pada anak-anak sekali pun. Masa kanak-kanak yang semestinya adalah masa pertumbuhan, bermain, dan belajar. Namun kenyataannya sudah harus mengecap pahitnya hidup. 

“Terus kapan dong waktunya belajar kalau Asoka juga harus jagain adik?” lanjutku kemudian untuk menutupi rasa terharuku. 

“Biasanya malam sebelum tidur, Bu. Tapi kalau terlalu capek ya besoknya sehabis shubuh,” terlihat matanya begitu antusias untuk menjawab. 

“Wahh, kamu hebat ya, Asoka. Di samping pandai, kamu juga pintar membantu Nenek dengan menjaga adikmu. Orang tuamu pasti bangga punya anak yang cerdas seperti kamu,” aku memberi semangat dengan suara yang berapi-api. 

“Kata Nenek kita harus mandiri, bahkan baju juga Asoka yang cuci sendiri,” ada kebanggan dari nada bicaranya. 

Ya Allah, aku benar-benar kalah di hadapan anak sekecil ini. Memaksaku harus menghitung berapa kenikmatan yang tidak kusyukuri. 

“Ini sudah hampir petang, pulanglah. Kasihan adikmu tuch, kecapekan kayaknya,” perintahku kemudian melihat hari sudah mulai gelap. 

“Oh, iyaa.. kami pulang dulu ya, Bu. Nanti nenek pasti mencari kami,” jawabnya sambil bersiap menggendong adiknya. 

Kubantu angkat adiknya ke punggung Asoka, yang dibebat dengan seutas kain yang telah lusuh. 

“Hati-hati di jalan, yaa...” sahutku lalu mengusap rambut Asoka. 

“Iya, Bu. Sampai jumpa besok di sekolah,” sambungnya sambil menyalami dan mencium punggung tanganku. 

“Semangat belajar, ya! Ibu bangga punya murid cerdas sepertimu. Jadilah kebanggaan untuk orang tuamu,” sambungku lalu mengikuti langkah Asoka  yang beranjak meninggalkan lapangan dengan ekor mataku. Asoka hanya membalasnya dengan anggukan. 

Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. 

‘Ibu bangga padamu, Nak. Di balik sifat ceria dan kepandaianmu, ternyata kau sedang berjuang melawan ganasnya hidup. Yakinlah kau akan menjadi orang sukses bersama do’a Ibu, dan do’a orang-orang yang menyayangimu, Amin.’ 

“Jadilah bintang, anakku...!” teriakku kemudian. 

“Terimakasih, Bu Guru,” jawabnya sambil melambaikan tangan. 

Senyumku mengembang, bangga dan terharu. Hari ini satu lagi pelajaran hidup yang aku dapat. Bertemu seorang calon bintang yang akan mengharumkan nama kedua orang tua, bangsa dan negara. Semoga.

13 Maret 2012

Lelaki Senja

| | 2 komentar



aku melukiskan matamu
ada teduh di sana, sejernih air mengalir
aku menemukan ikan menari-nari
sendu mendayu dalam hijaunya lumut.
ada kelembutan di setiap arusmu
bagai hembusan angin, hening menampar dedaun
mungkin, lebih lembut dari selembar sutera bidadari
tak lebih menutupi sekulit ari
namun, ada jarak yang tak mungkin kutuju
ketika pijakan hanyalah sebongkah cadas
tak mungkin terkikis meski oleh derasnya hujan
kau tetap berdiri membatu meski pada tebing yang pualam 


pada jingganya hatimu
rembulan luruh ditelan purnama
bahkan sebelum senja menapak malam
pun telah terpagut janji mentari

jika malam datang menjemput pagi
aku masih akan tetap di sini
mewarnai hari dengan hijaunya telaga
hingga air tetap mengalir
memuara sunyi di sisi hatimu


1 Des 2011

SEPENGGAL MIMPI DI LAUT LEPAS

| | 0 komentar



kau lihat, badai masih enggan bergeming
membahasakan hati yang kian pilu
serupa tumpahan peluru mendesing
menghujam nadi dari segala penjuru

tak seharusnya terluka aku
di hamparan bahtera luas
kangkangi laut bisu
seiring harap perlahan kandas

padamu jua aku pasrahkan
sekoci rindu dalam genggammu
dan mata angin sebagai acuan
saat hati tak mungkin bersatu
 
kau, telah menjadi nahkoda sejenak
dalam pelayaran atas cintaku
meski kini aku harus tersedak
karena musim terlanjur membiru

di ujung semenanjung mimpi
putus layar tanpa terkembang
hanya setangkup kidung baiduri
lesap resah surga bertandang

SESAJAK RINDU DI PAGI MERDU

| | 0 komentar

kata-kataku masih tertidur
kala kau datang berkunjung
bahkan penaku kian mendengkur
enggan menggores tinta di ujung


lalu kau bacakan sesajak puisi
dari tumpukan baju di lemari
aku tersedu enggan dibujuk
sepotong bajuku robek di pucuk


"aku akan membantumu merajut!"
katamu kian merajuk
sekotak imaji kau tusuk
di otakku yang hampir mengkerut


"ada rindu di keningmu
yang membuatku ingin menulis puisi"
itu caramu mengingatkanku
hingga kata berhamburan di ujung pipi


dan pagi ini aku ingin menulis puisi
tentang kamu juga rinduku
biar kubunuh mati engganku
menjadi prasasti di tumpukan lemari



2 Des 2011

PEREMPUAN PEMINTAL HUJAN

| | 0 komentar


serupa membelai bayu dalam gendongan
membesarkan dari sebutir buahan hati
hingga tumbuh dengan sulutan asa yang membara
dari tungkutungku kasih sayang


adalah kau, bunda
perempuan yang menikahi hujan
dan menganakkan gerimis
dari gelembung awan yang mengandung benihbenih luka


tiada carut dari wajah yang pasi
meski senja telah menguningkan usia
setangkup doa sewangi melati
tak lekang terpintal
bilakah khidmatku tak mampu gantikan syurgamu



14 Sept 2011


WAKTU YANG TERLUPA

| | 0 komentar


maka ketika tanah basah kembali mengering
tersebab embun yang tak lagi menetes
menghablurkan wewangian melati
pada musim semi yang terlewati


sang kembara jiwa kembali
pada titian mangsa
yang terikat pada kalender
penanggalan yang hampir purba


menyemai benihbenih kealpaan diri
yang hampir terenggut pergi
pada jeda waktu yang menyuburkan keangkuhan
hingga enggan mengingat tunastunas duniawi


lalu
ketika daun amal tak lagi menghijaukan laku
sejengkal jejak kasihMu kami pinta
sekejap waktu kami melupa


sungguh pun inilah kami
mereguk khidmat lantas berlalu
tikam kami dengan maghfirohMu, Ya Robbi!



29 Agust 2011


SAJAK SEPTEMBER, UNTUK LELAKIKU

| | 0 komentar


di sudut jalan taman kota
ketika mentari mulai menjinjing embun di lenggang dedauan
derap kaki menyatu di antara bising gempita suara klakson, memekak
menggendong segumpal asa, di dada


binar mata yang masih berjejal
dengan serangkaian abjad yang terpampang di bilik retina, semalam
bersama sepuntung rokok jati diri
memicingkan letupan semangat tak pernah padam


deru napas kehidupan  membuatmu memilah hari hingga berpetakpetak
pun pada putaran waktu  yang tak henti kau singgahi
tersusun deadline pemberhentian tak kunjung usai


satu persatu  petakpetak kau bangun
di tanam dengan rimbun harap
atas benihbenih yang entah esok, lusa, atau bahkan kelak
menyemai mimpi sepadang tawa


tiada keluh itu dzikir hatimu
tersebab khidmatmu adalah ayatayat suci penahan dahaga
saat pagi menghidangkan seulas senyum
dari sarapan bocahbocah lugu, beribu cita


hanya ketika hujan meninggalkan rinai  
dari jejak tapak yang tertanam
saat itulah ruahmu atas segala nikmat.
dan Dia adalah muasalmu



21 september 2011

AH, KAU

| | 0 komentar


“Hay, siapa kau?”.
hari sudah terang
mentari pun bersolek riang
mengapa masih diam di sini


“Benarkah kau?”
embun yang tak lelah
memberi sejuk di dada kiri
buatku serupa bernafas tanpa paru


“Ah, kau!”.
rindu yang tanpa jengah
tertidur lelap di tempat istimewa
di hati


23 september 2011

DI TITIK KHILAF

| | 0 komentar


pada netra kesekian kali
telah terulur serentang jarak
membentang antara rapuhnya tebing emosi dan curamnya fikir
bukan pada tempat di mana meletakkan naluri dan buah akal


merobek keyakinan atas gundahnya hati
saat malammalam sakral rintihan perawan
membumi hanguskan hasrat binal kembara hati
pada titik penghabisan atas jawab yang memuncak


padang gersang bertandus
menjadikan altar persinggahan semakin terasing
pada sudut jiwa yang semakin bising
mencokol segala laknat yang membirahi
hingga tak sadar diri nafsu telah menguasai ilusi

emosipun terdampar pada sudutsudut ketakberdayaan
mengais ruahan amarah yang semakin membuncah
sebelum akhirnya terbujur kaku di tilam kesadaran
astaghfirullaahal 'adzim  



10 Sept 2011  


KUKATAKAN DENGAN INDAH

| | 0 komentar



senja kali ini
mega kembali memeluk manja sang jingga
bersembunyi di balik kaki bukit
menyambut  mesra kisikisi malam


seperti aku di sini
di tempat biasa aku menunggu rindumu kembali
menjinjing apa-apa yang kusebut kau
saat hati mendesah resah
mencari wujud nyata dari bayangmu


adalah rindumu kekasih
membawa selaksa harap
membejana dalam palung sukma
saat padang gersang tiada berembun


bilakah tiba masa rasa menyatu
meninggalkan tetesan embun lembayung tirta
saat malam terlena bualan sang bulan
sungguh pun  rindumu telah menyatu dalam nadiku


karena sesungguhnya
bayangmu nyata dalam rinduku
seperti aku yang luruh dalam rindumu
kau, aku, kita

8 september 2011 


RINDU GAGU

| | 0 komentar


setangkai edelweis dan anggur merah
seiring lembutnya musik blues 
mengulum cinta seindah lazuardi
pada getaran rasa yang kita sebut rindu


aku pada puisimu
dan kau pada sajakku
menyatukan netra pada dalih senggama rasa
hingga pergumulan kata membanjir di sudut sofa
 

sementara aku masih di sini
terdiam pun gagu
bersama rindu membisu
saat kenangan berlalu


di mana tika kau ucap
rindumu hanya untukku  


7 september 2011

PEREMPUAN SENJA

| | 0 komentar


Inilah aku
Penguras air mata seloka
Setia menanti hujan
Dari mata air langit

Inilah aku
Pengais puing-puing hari
Berserak di pelataran jiwa
Pada rekat sujud malam

Inilah aku
Pengagum hening malam
Menikmati perihnya rasa
Sebagai teman pelipur lara

Inilah aku
Perempuan senja
Setia mengulum  rindu
Di bibir malam yang kelu


9 mei 2011


EMBUN PAGI

| | 0 komentar

sepagi ini
ada yang tertinggal

ketika malam tak lagi meninggalkan segurat duka
yang tertoreh di mushaf hari
sepagi ini
ingin kulukis selambar sejarah
di bias cakrawala
dengan kanvas luka dan air mata

sepagi ini
akan kumuseumkan sebidang lukisan
dalam galery hati yang murni


sepagi ini
kembali kusentuh embun pagi
dalam segenggam asa terus berlari

sepagi ini
kudekap do’a
dalam kasih Rabbani

22 juli 2011


GUNDAH

| | 0 komentar

Tiap helaian napas yang terurai
Terselip sesak laksana jerum


Sedikit gugat atas jawab gudahnya hati
Mendakwah akhir perjuangan batin
Mengapa dan kenapa


Sama seperti ketika aku harus
Meluruhkan segala tameng ego diri
Membuka gembok hati yang terkunci mati
Luruh lantak terpesona eloknya nada


Namun mengapa kini terasa sumbang
Tertatih aku mengeja tiap bait not
Shimphony yang kau dendangkan
Mengalun pilu bak anak panah menusuk sukma


20 mei 2011

ELEGI CINTA SEMUSIM

| | 0 komentar



pada pendar bola matamu
sebening tatap mengecap bahagia
meruam dalam nanar

serupa anak api menjilat tepian duka


dalam diam berwarna bisu
kita pun berburu jejak yang hilang
hingga percuma menatap luka

hanya rindu, mengutip sunyi sukma


dan ketika kini
celang matamu tak lagi menemu tuju
di antara suara gigil yang ganjil
aku merangkak berburu membuka pagi


sebelum hari terbilas warna
kubius mimpi bersusun janji

20 juli 2011


SENJAKU LARA

| | 0 komentar

Tiada akhir
Jati diri berkelana 
Membayangi jejak-jejak langkah
Di punggung fajar yang tertapak

Di sisa gerimis senja yang murung
Kau tetap seonggok bara
Dalam lipatan mata serupa api
Mendidihkan secawan magma
Dan semburat nadi adalah lava-lava pembunuh

Lalu dengan sebilah mata pisaumu
Semua yang kasat adalah dahaga
Rembulan terduduk letih
Melipat raga dalam penyerahan abdi


Ketika kelam melasma di dinding malam
Jangan kau tanya lagi
Tentang embun yang mengkristal di ujung pipi

Kelak... 
Akan ku seduh secangkir kopi pahit
Di pagi awalmu

13  juni 2011

TENTANG RINDUMU LELAKIKU

| | 2 komentar

                                                            gambar diambil dari google

rindu adalah ketika matamata sayu

menanggalkan sebaris lengkung pelangi

yang memudarkan bias cahaya

di belah ranum rona jingga pipi



sementara hujan yang membadai di bilangan cakrawala

menembus batas ingin

melarung bersama kabar angin

yang kau kirim saat matamata rindu

semakin meninggalkan lebat gerimis



mungkin anjungan kapal

yang melaju di buritan lalu

adalah kealpaan atas pesisir

hanya dibangun dengan ketergesaan semata



merupa kurakura

menyusup di antara gundukan pasir

lalu lesap

bersama gulungan ombak

dan membawamu kembali pada perempuanmu



27 Agust 2011